Pertama kali menetap di Desa
Lirboyo, ia langsung melantunkan adzan. Aneh, selepas itu, semalaman penduduk
desa tak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang
langgang.
Nama kiai ini KH Abdul Karim. Ia adalah pendatang dari Magelang yang kemudian diambil menantu Kiai Sholeh, Banjarmelati Kediri.
Perpindahan Kiai Karim ke
desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang
berharap dengan menetapnya Kiai Karim di Lirboyo akan menjadi tonggak penting
syiar Islam di daerah itu. Gayung bersambut, kepala desa Lirboyo juga memohon
kepada Kiai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di desa
Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan
kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram. Benar, selepas Kiai Karim
melantunkan adzan, Desa Lirboyo bebas dedemit. Dan, tiga puluh lima hari
setelah menempati tanah tersebut, Kiai Karim mendirikan surau mungil nan
sederhana. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 1910.Nama kiai ini KH Abdul Karim. Ia adalah pendatang dari Magelang yang kemudian diambil menantu Kiai Sholeh, Banjarmelati Kediri.
Secara garis besar Kiai Karim adalah pribadi yang sangat sederhana dan bersahaja. Ia juga gemar mela-kukan riyadlah mengolah jiwa alias tirakat. Kealimannya juga mulai terdengar ke luar daerah. Adalah bocah bernama Umar asal Madiun, yang menjadi santri pertama yang menimba ilmu dari Kiai Karim.
Kedatangannya disambut baik oleh
shahibul bait, karena kedatangan musafir itu untuk menimba pengetahuan agama.
Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kiai.
Selang beberapa waktu ada tiga
santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal Kiai
Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad dan Sahil. Tidak lama kemudian
datanglah dua orang santri bernama Syamsuddin dan Maulana, yang sama-sama
berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri
ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari Kiai Karim. Akan tetapi baru dua
hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes
disambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman.
Di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan jahil. Akhirnya mereka
berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung
halamannya.
Tahun demi tahun, Pondok Pesantren
Hidayatul Mubtadiin Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin
dibanjiri santri. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuk-lah satuan keamanan yang
bertugas ronda keliling disekitar pondok.
Karena jumlah santri semakin
membludak, dan musalla kecil tak lagi representatif, maka timbullah gagasan
dari Kiai Karim untuk mendirikan masjid. Semula masjid itu amat sederhana,
tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah
beberapa lama masjid itu digunakan, bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan
suatu ketika masjid sederhana itu porak poranda disapu angin puting beliung.
Akhirnya, KH Muhammad, kakak ipar Kiai Karim, berinisiatif membangun kembali
masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Setelah
bermusyawarah dan meminta izin pada KH Ma’ruf Kedunglo Kediri, dalam tempo
peng-garapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah
(pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi. Dinding serta lantainya
terbuat dari batu merah, gaya bangunannya bergaya klasik, yang merupakan
perpaduan model arsitektur Jawa kuno dengan Timur Tengah. Peresmian dilakukan
pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan
acara ngunduh mantu putri Kiai Karim yang kedua, Salamah dengan KH Manshur
Paculgowang Jombang.
Murid Kiai Kholil Bangkalan
Kiai Karim lahir pada 1856, di
sebuah desa terpencil bernama Diyangan Kawedanan Mertoyudan Magelang. Nama
kecilnya adalah Manaf, putra ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Kiai
Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Pada saat Manaf berusia 14 tahun, mulailah ia
berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Daerah pertama yang dituju
adalah desa Babadan Gurah Kediri, lantas Karim meneruskan pengembaraannya di
daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk. Di sini Karim menuntut ilmu kurang
lebih selama 6 Tahun. Selanjutnya pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri,
Kertosono Nganjuk, untuk memper-dalam pengkajian ilmu al-Quran. Karena tetap
haus ilmu, ia kemudian meneruskan pengembaraannya ke Pesantren Sono, sebelah
timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang ter-kenal dengan ilmu sharafnya. Tujuh
tahun lamanya ia kerasan menuntut ilmu di pesantren ini. Periodenya selanjutnya
diteruskan dengan nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro Surabaya. Era mondok
yang paling berkesan adalah tatkala ia berguru pada ulama kharismatik yang
menjadi guru para ulama Jawa dan Madura, Syaikhona Kholil Bangkalan. Tak
tanggung-tanggung, Karim berguru di pesantren ini selama 23 tahun! Tak heran
jika dalam usia yang terus bertambah, ia masih belum tertarik membina rumah
tangga.
Pada saat berusia 40 tahun, Karim,
yang mulai dipanggil kiai, memilih meneruskan pencarian ilmunya di Pondok
Pesantren Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di
Bangkalan, KH M Hasyim Asy’ari. Hingga pada suatu ketika Mbah Hasyim
menjodohkan Kiai Karim dengan putri Kiai Sholeh dari Banjarmlati Kediri.
Akhirnya pada tahun 1328 H/ 1908 M, Kiai Karim menikah dengan Siti Khodijah
Binti KH Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun
kemudian Kiai karim bersama istri ter-cinta hijrah ke tempat baru, Lirboyo.
Sosok Kiai Karim dikenal sebagai
sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam
segala kondisi apapun dan ke-adaan bagaimanapun. Hal ini terbukti tatkala
menderita sakit, Kiai Karim masih saja istiqomah untuk mem-berikan pengajian
dan memimpin shalat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Sebagai
pengasuh ratusan santri, sikapnya yang kebapakan dan rendah hati, masih lekat
diingatan para santri yang masih menangi zamannya.
Pernah, suatu ketika, ada pemuda
yang berniat mondok di Lirboyo. Pakaiannya perlente sambil menen-teng koper,
sebuah penanda kemewahan pada zaman itu. Di gerbang pondok, ia berpapasan
dengan orang tua berpenampilan sederhana. Dengan seenaknya ia minta tolong pada
orang tua itu untuk membawa-kan kopernya yang berat. “Antarkan aku ke ndalem
Kiai Karim,” perintah-nya. Yang dimintai tolong segera mengiyakan. Setelah
sampai di rumah kiai, orang tua itu meminta sang pemuda agar menunggu Kiai
Karim barang sejenak. Alangkah terperanjatnya pemuda itu saat Kiai Karim muncul
dari balik pintu ruang tengah, sebab orang tua yang ia suruh menenteng kopernya
itu adalah Kiai Karim! Konon, saking malunya, pemuda perlente tersebut langsung
mem-batalkan niatnya mondok di Lirboyo.
Mendung kedukaan menggelayut
menaungi Lirboyo, saat Kiai Karim wafat pada 1954. Sepeninggal Kiai Karim,
Ponpes Lirboyo dilanjutkan para menantunya, seperti KH Marzuqi Dahlan (adik KH
Ihsan Dahlan Jampes, penulis Sirajut Thalibin), KH Mahrus Ali dan KH Jauhari.
Adapun menantu yang lain, KH Abdullah mengasuh pesantren Turus Gurah Kediri, KH
Manshur Anwar mengasuh pesantren Tarbiyatun Nasyiin Pacolgowang Jom-bang, sedangkan
KH. Zaini mengasuh pesantren Krapyak Yogyakarta.
Sekarang, pesantren yang menapak
usia seabad ini dihuni sekitar 10 ribu santri. Diasuh secara kolektif oleh para
cucu Kiai Karim, seperti KH Idris Marzuqi, KH Anwar Manshur, KH Imam Yahya
Mahrus, KH Habibullah Zaini, dll.
* Dimuat di Majalah AULA edisi
Pebruari 2010 dalam rubrik 'USWAH'
KH Abdul Karim, Pecinta Ilmu yang Rendah Hati