Senin, 25 Maret 2013


Suatu saat K.H. Ahmad Umar Abdul Manan (1916 –
1980), pengasuh Pesantren Al Muayyad,
Mangkuyudan Solo, memanggil lurah pondok. "Aku
minta dicatatkan nama-nama santri yang nakal ya!
Dirangking ya. Paling atas ditulis nama santri
ternakal, nakal sekali, nakal dan terakhir agak nakal." Lurah pondoknya girang bukan main. Karena sudah
beragam cara diupayakan untuk mengingatkan
santri-santri nakal itu. Tapi hasilnya nihil.
Sepertinya mereka sudah beku hatinya. Dengan penuh semangat, dijalankanlah perintah
Kiai Umar tersebut. Nama-nama santri itu ditulis
besar-besar dengan spidol. Ternakal fulan bin fulan
asal dari daerah A. Nakal sekali fulan bin fulan dari
daerah B sampai santri yang agak nakal. Setelah
catatan selesai dibuat, kemudian diserahkan kepada Kiai. Lurah pondok itu menanti seminggu, dua minggu,
kok tidak ada tindakan apa-apa. Pikirnya dalam
hati, "Kok santri-santri yang nakal masih tetap
nakal ya. Kok tidak diusir atau dipanggil Kiai." Akhirnya lurah pondok itu memberanikan diri matur
kepada Kiai Umar. "Maaf Kiai, santri-santri kok
belum ada yang dihukum, ditakzir atau diusir?" "Lho, santri yang mana?" "Santri yang nakal-nakal. Kemarin anda minta
daftarnya." "Siapa yang mau mengusir? Karena mereka nakal
itu dipondokkan, biar tidak nakal. Kalau disini nakal
terus diusir, ya tetap nakal terus. Dimasukkan ke
pesantren itu biar tidak nakal." "Kok anda memerintahkan mencatat santri-santri
yang nakal itu?" "Begini, kamu kan tahu tiap malam aku setelah
sholat tahajud kan mendoakan santri-santri.
Catatan itu saya bawa, kalau saya berdoa mereka
itu saya khususkan. Tanya dululah kalau belum
paham." * * * Cerita ini pernah saya sampaikan di sebuah daerah
di Jawa Tengah. Ada Kiai muda mengundang saya
untuk mengisi ceramah di acara khataman quran di
pesantrennya. Ada puluhan ribu orang yang hadir.
Dalam kesempatan itu saya ceritakan kisah di
atas. Saya suka menceritakan kisah ini, karena apa yang dilakukan Kiai Umar sesuai dengan yang
dipesankan ayah saya, bahwa mengajar harus lahir
batin. Saat saya sampaikan cerita ini, para hadirin
tertawa semua. Hanya satu orang yang tidak
tertawa. Kiai muda itu terlihat menunduk diam. Pikir
saya, "Apa Kiai ini tidak paham yg saya sampaikan atau bagaimana? Kok tidak ada ekspresi apa-apa
saat dengar cerita saya." Pada saat turun dari podium, saya dirangkul oleh
kiai itu. Dia membisikkan sesuatu, "Masya Allah,
alhamdulillah Gus, jenengan tidak menyebut nama.
Sayalah daftar ternakalnya Kiai Umar." Kaget, heran dan kagum saya, dengan statusnya
dulu sebagai santri ternakal, dia sekarang jadi kiai
dengan ribuan santri. Kisah di atas disampaikan oleh KH. Musthofa Bisri
dalam haul KH. Umar Abdul Manan di Pondok
Pesantren Al Muayyad Solo. *Luar biasa. Kiai-kiai jaman dulu mendidik tidak
hanya mengajar secara lisan saja. Tetapi juga
dibarengi dengan laku tirakat dan doa. Bahkan,
saat santrinya sudah pulang ke rumahpun masih
diperhatikan dan didoakan. Dikunjungi, dipantau dan
ditanyakan perkembangannya. Itulah rahasia keberkahan ilmu para alumnus pesantren. Doa
guru. * * Tidak ada kata putus asa dalam berupaya. Saat
usaha kita mendidik tidak menghasilkan perubahan.
Jangan menyerah. Serahkan hal ini kepada Yang
Maha Kuasa. Kiai Umar memberikan keteladanan
itu.

0 komentar:

Posting Komentar